10 Tahun Tsunami Aceh: Quo Vadis Peran BMKG dalam InaTEWS
10 Tahun Tsunami Aceh: Quo Vadis Peran BMKG dalam InaTEWS
Weniza, MSc
Staff Sub Bidang Mitigasi Tsunami
Technical Advisor GIZ di BMKG (2012-2014)
Desember ini kita memperingati 10 tahun tsunami Aceh 26 Desember 2004. Refleksi dari bencana tersebut enam tahun sudah Indonesia resmi memiliki Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS) yang cukup membanggakan. Apa yang masih perlu menjadi perhatian bagi pengembangan dan penguatan InaTEWS ke depan? Tulisan ini akan menyoroti komponen Kultur dari InaTEWS dan peran BMKG di dalamnya.
10 Tahun Tsunami Aceh dan Perkembangan InaTEWS
Tanggal 26 Desember 2004, Indonesia tersentak akan sebuah bencana dahsyat yang menghantam ujung utara pulau Sumatera. Bencana tsunami yang terjadi menyusul gempabumi berkekuatan 9.0 SR itu menelan lebih dari 220.000 korban jiwa. Besarnya korban jiwa ini diyakini disebabkan oleh ketidaktahuan warga tentang bahaya yang mengancam mereka setelah gempabumi. Bencana tsunami yang terjadi sesudahnya merupakan alarm keras yang membangunkan Indonesia dan dunia, khususnya kawasan Samudera Hindia, akan perlunya sebuah sistem peringatan dini tsunami.
Gambar 1 : Bencana Tsunami Aceh, 26 Desember 2014.
Bencana besar tersebut mendorong lahirnya Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS) pada 2008 dan juga IO-TEWS, Indian Ocean Tsunami Early Warning System. BMKG memegang peran sebagai penyedia berita peringatan dini tsunami dalam InaTEWS. Dalam peran ini, BMKG bertugas menyampaikan berita gempabumi, berita peringatan dini tsunami, dan saran untuk tindak lanjut di daerah yang terancam tsunami kepada pihak lain dalam rantai komunikasi peringatan dini tsunami. Untuk menjalankan tugasnya tersebut, BMKG mengoperasikan jaringan peralatan untuk pengamatan gempabumi dan tsunami bersama dengan BIG dan BPPT (seismometer, perangkat lunak SeisComP3, buoy, tide gauge, dan CCTV, GPS) serta bertanggung jawab atas pengolahan dan analisa dengan perangkat lunak Decision Support System (DSS). Keseluruhan peralatan itulah yang mendukung dikeluarkannya proposal dengan dua kemungkinan, yakni proposal berita peringatan dini tsunami, bila DSS memberikan scenario terjadinya tsunami; dan proposal berita gempabumi bila DSS memberikan proposal bahwa gempabumi tidak berpotensi tsunami. Setelah proposal ini diverifikasi oleh petugas, maka berita gempabumi atau berita peringatan dini tsunami akan disebarluaskan melalui sistem diseminasi. Dengan dukungan berbagai pihak, sejak dibangun pada 2005, InaTEWS telah berhasil berkembang dari kondisi tidak adanya peringatan (zero warning) di Indonesia, hingga mampu mengeluarkan peringatan untuk wilayah Indonesia (sebagai NTWC) dan Samudera Hindia (sebagai RTSP). Dalam perkembangannya InaTEWS mampu mengurangi waktu diseminasi peringatan dari 45 menit semenjak deteksi gempabumi, menjadi kurang dari 5 menit pada saat ini. Meskipun BMKG masih harus terus-menerus meningkatkan akurasi peringatannya, dan senantiasa memperkuat InaTEWS dengan kemajuan teknologi pengamatan gempabumi dan tsunami, serta pengolahan dan analisis data mutakhir, kemampuan saat ini merupakan capaian yang membanggakan.
Salah satu hal yang sangat penting untuk direfleksikan 10 tahun setelah Tsunami Aceh adalah bahwa capaian InaTEWS di atas adalah sekelumit keberhasilan dalam layanan peringatan dini. InaTEWS dikembangkan sebagai sistem peringatan dini end-to-end, dari hulu ke hilir, yang menghubungkan BMKG sebagai National Tsunami Warning Center (NTWC) sampai dengan masyarakat berisiko pada hilirnya. Sebagai sistem end-to-end, maka InaTEWS memiliki komponen Struktur dan komponen Kultur. Komponen Struktur meliputi pengetahuan risiko, pemantauan gempabumi dan tsunami, serta penyediaan layanan peringatan. Sementara, komponen Kultur meliputi penyebaran dan komunikasi hingga mencapai masyarakat yang berisiko serta kapasitas respons pada masyarakat dan lembaga-lembaga untuk menindaklanjuti peringatan secara efektif. Dalam sambutannya di depan Konferensi 10th Anniversary of Indian Ocean Tsunami: Achievements, Challenges, Remaining Gaps, and Policy Perspectives pada 24-25 November lalu, Kepala BMKG Dr Andi Eka Sakya, M.Eng menyebutkan bahwa pengembangan Komponen Struktur, kendati sangat krusial, masih jauh dari memadai untuk menyelamatkan jiwa. Pengembangan kapasitas pada komponen Kultur, yang mencakup program sistematis untuk membangun kesiapsiagaan masyarakat yang hidup di daerah berisiko sangat diperlukan. Komponen ini juga mencakup pengembangan kapasitas pemerintah daerah untuk melakukan penyebaran peringatan sampai ke masyarakat yang berpotensi terdampak, yang melibatkan berbagai lembaga perantara atau interface institutions. Dalam konteks ini, Kepala BMKG merujuk pada pentingnya penguatan apa yang disebut rantai peringatan (Gambar 2). Setiap mata rantai di dalamnya memainkan peranan penting, karena tidak berfungsinya sebuah mata rantai dapat berakibat pada kegagalan sampainya peringatan pada masyarakat berisiko.
Gambar 2 : Rantai Komunikasi Peringatan Dini Tsunami InaTEWS (Sumber: Pedoman Pelayanan Peringatan Dini Tsunami InaTEWS, hal. 20)
Asesmen atas Kinerja Rantai Peringatan Dini Tsunami InaTEWS Sejak diresmikan pada November 2008, InaTEWS ini telah mengalami beberapa “ujian”, baik berupa kejadian nyata maupun latihan-latihan, baik bersifat nasional maupun internasional. Gempabumi relatif besar telah terjadi beberapa kali. Gempabumi tersebut diikuti peringatan dini tsunami dalam kasus-kasus gempabumi Padang September 2009, Jawa April 2011, Sumatera April 2012, dan Halmahera November 2014. Sementara, terdapat pula pengalaman gempabumi >6.5 SR yang memicu kepanikan masyarakat karena kekawatiran akan tsunami dan karenanya klarifikasi dari InaTEWS akan sangat bermanfaat.Ini dapat dilihat dalam kasus-kasus gempabumi Tasikmalaya September 2009, Bali Oktober 2011, dan Kebumen Januari 2014. Selain kejadian nyata, BMKG juga melakukan latihan, baik yang hanya melibatkan NTWC dan interface institutions di tingkat nasional, maupun yang melibatkan lembaga perantara daerah, khususnya BPBD dan Pusdalops. Latihan-latihan yang sudah dilakukan termasuk IOWave, yakni Latihan Sistem Peringatan Dini Tsunami untuk negara-negara di Samudera Hindia pada 2009, 2011, 2014 serta Pacwave, yakni Latihan Sistem Peringatan Dini Tsunami untuk negara-negara di Samudera Pasifik pada 2006, 2008, dan 2013.
Dari kejadian dan latihan tersebut, pada tingkat lembaga perantara, dapat dilihat bahwa untuk mencapai daerah dan masyarakat yang berisiko di berbagai wilayah Indonesia, rantai peringatan dini tsunami menunjukkan kinerja yang bervariasi pada level hilir. Idealnya, salah satu peran kunci dalam rantai komunikasi peringatan dini tsunami dimainkan oleh Pusdalops Daerah yang berfungsi 24/7. Pusdalops daerah inilah yang berwenang untuk mengubah peringatan dari BMKG menjadi arahan bagi warga, yang sifatnya resmi. Temuan di lapangan menunjukkan bahwa kendati terdapat sejumlah Pusdalops yang menunjukkan kinerja 24/7 yang relatif solid untuk menjangkau masyarakat berisiko dalam penyebaran arahan (seperti di Provinsi Bali, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Bantul), sebagian besar Pusdalops daerah menghadapi berbagai kendala dalam penerimaan peringatan, pengambilan keputusan yang tepat, serta penyebaran peringatan. Kendala-kendala ini terkait dengan ketersediaan infrastruktur yang memadai, adanya sistem termasuk prosedur operasi standar (SOP) yang solid, serta sumberdaya personil yang terlatih dan cakap menjalankan tugas. Kendala-kendala di atas membuat layanan peringatan dini yang disediakan InaTEWS tidak bisa mencapai mereka yang membutuhkan di tingkat paling hilir secara tepat waktu.
Merujuk definisi dari Laura Kong, Direktur UNESCO/IOC International Tsunami Information Center, sebuah sistem peringatan dini yang efektif berarti “… All persons in vulnerable coastal communities are prepared to respond appropriately, and in a timely manner upon recognition that a potentially destructive tsunami may be approaching.” Pelajaran dari kejadian nyata dan latihan menunjukkan bahwa pencapaian indikator efektivitas sistem peringatan dini di atas masih menjadi tantangan di Indonesia.
Peran BMKG
Merujuk pada Sistem Peringatan Dini yang terpusat pada Masyarakat (UNISDR, 2006), selama ini, BMKG telah menjalankan perannya dalam komponen Pengetahuan Risiko serta komponen Pemantauan dan Layanan Peringatan. Dalam komponen ini, BMKG telah mengembangkan pemahaman tentang sumber gempabumi yang berpotensi tsunami di Indonesia, membuat landasan ilmiah yang kuat untuk membuat prediksi, dan menyediakan layanan peringatan dini secara tepat. Ke depan, BMKG masih perlu terus-menerus memperbaiki layanannya ini, sehingga prediksi yang dihasilkan kian akurat.
Pertanyaan berikutnya bagi pengembangan sistem adalah penyebaran peringatan dan komunikasi arahan kepada semua orang yang berisiko. Mengingat pemerintah daerah selama ini menunjukkan pemahaman akan layanan InaTEWS yang bervariasi, ke depan ini merupakan tantangan yang serius bagi efektivitas InaTEWS. Dalam konteks rantai komunikasi peringatan dini tsunami, pemerintah daerah merupakan klien dari BMKG, NTWC dalam InaTEWS, sebagai service provider peringatan dini tsunami. BMKG menyediakan layanan berupa peringatan dan saran, dan adalah kewenangan dan tanggung jawab pemerintah daerahlah untuk menindaklanjutinya dalam kerangka InaTEWS. BMKG sangat berkepentingan untuk memastikan adanya pemahaman yang baik akan layanannya ini pada para kliennya ini. Karena itu, BMKG perlu menimbang untuk terlibat aktif dalam peningkatan pemahaman akan layanan peringatan dini yang disediakannya, khususnya (namun tidak terbatas) pada pemerintah daerah.
Perdebatan yang muncul biasanya seputar tugas dan fungsi BMKG, yang secara tradisional dibatasi pada Komponen Struktur. Karena pemerintah daerah bertanggung jawab di wilayah Kultur, maka peningkatan pemahaman Pemda akan layanan NTWC sering dipersepsi sebagai wilayah Kultur yang berada di luar ranah BMKG. Namun, cara lain untuk memandang isu ini adalah bahwa peningkatan pemahaman ini merupakan kunci supaya peran BMKG sebagai service provider layanan peringatan dini bagi lembaga perantara kian efektif. Layanan peringatan dini yang kian cepat dan akurat tidak akan efektif kecuali dipahami dan ditindaklanjuti oleh lembaga perantara dalam rantai peringatan. Sebagaimana pengalaman menunjukkan, 6 tahun usia InaTEWS menunjukkan bahwa peningkatan pemahaman ini tidak menunjukkan perkembangan berarti. Upaya-upaya di komponen Kultur yang berhubungan dengan daerah memang dilakukan, namun banyak yang masih bersifat pilot (daerah per daerah, alih-alih mencari titik strategisnya) serta kurang sinergis (tidak selaras dengan inisiatif kesiapsiagaan tsunami lainnya dan oleh K/L dan lembaga lainnya). BMKG sebagai service provider sangat berkepentingan untuk memulai upaya-upaya yang strategis dan sinergis ini. Dengan demikian, peningkatan pemahaman yang terjadi akan menjangkau khalayak pemerintah daerah yang luas (tidak hanya sejumlah daerah percontohan) dan efektif dalam membangun kesiapsiagaan lokal karena selaras dengan penguatan kapasitas pengurangan risiko bencana tsunami secara keseluruhan.
Seiring dengan penajaman peran dalam peningkatan pemahaman peran ini, BMKG dapat meninjau kembali peran selama ini dalam penyebaran peringatan. Selama ini BMKG melakukan subsidi bagi penyebaran peringatan berupa biaya penyebaran pesan melalui WRS client (pulsa untuk SMS otomatis dari komputer warning receiver system di Pusdalops daerah) serta pemeliharan sirene, bahkan aktivasi di lokasi-lokasi yang kewenangan aktivasinya belum diserahterimakan kepada pemerintah daerah setempat. Peran dan tanggung jawab ini barangkali mulai dapat dilakukan oleh pihak lain dalam InaTEWS.
Penutup
Gempabumi besar di zona subduksi niscaya akan kembali terjadi, dan ancaman tsunami di wilayah pesisir Indonesia bukanlah ilusi semata. Momentum 10 Tahun Tsunami Aceh merupakan saat bagi InaTEWS untuk berkaca, dan menata diri tentang agenda-agenda yang masih harus dikerjakan ke depan. Khusus untuk BMKG, menjadi agenda ke depan untuk mengkhususkan diri pada peran kuncinya, yakni pengembangan pengetahuan akan risiko; pelaksanaan pemantauan dan layanan peringatan yang kian akurat, tepat waktu, dan mudah dipahami lembaga perantara; serta peningkatan pemahaman lembaga perantara mengenai produk-produk BMKG sebagai NTWC. Pada gilirannya, lembaga perantara akan kian mampu menjalankan fungsinya dalam penyebaran.