Artikel

Menyambut Kemarau, Selamatkan Pangan

Beberapa pekan ini Indonesia disibukkan dengan hiruk pikuk Pemilu 2014 yang sebentar lagi bergulir. Jabatan yang akan diemban para terpilih ini tidak main-main. Baik anggota legislatif maupun eksekutif yang terpilih nantinya akan menjadi resolusi penentu kemajuan bangsa minimal dalam jangka 2014-2019.

Masalah yang mungkin terlupakan saat ini adalah masalah pertanian yang tentunya perlu perhatian khusus karena menyangkut ketahanan pangan sesuai UU No.7 th 1996 tentang pangan, pemerintah berkewajiban memenuhi kebutuhan pangan  dan menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup, bermutu dan bergizi layak, aman dan merata serta terjangkau oleh setiap rumah tangga.

Kondisi Pangan

Ketika jumlah penduduk suatu negara terus mengalami peningkatan, selalu diiringi peningkatan kebutuhan pangan. Untuk itulah perlu perhatian lebih untuk bidang pertanian kita.

Jika kita kembali menengok akhir tahun 2013, tepatnya di KTT WTO Bali, India dengan tegas menolak usulan negara maju yang membatasi kenaikan subsidi pertanian menjadi 15% hanya berlangsung 4 tahun, bukan tek terbatas. Namun sayangnya penolakan India ini tak mendapat dukungan yang cukup dari negara-negara yang hadir pada konferensi tersebut, termasuk Indonesia. Jika pemikiran India ini dapat direalisasikan, tentu Indonesia bukan tidak mungkin bisa berswasembada beras lagi. Ini bukti kurangnya perhatian dunia pada ketahanan pangan.

Akibat yang paling mudah kita temui adalah impor beras besar-besaran. Baru-baru ini ada kabar yang membanggakan. Berdasakan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dikutip, Senin (7/4/2014) impor Februari sebesar 2.200 ton atau US$ 1,1 juta. Sementara Januari mencapai 31.729 ton. Artinya ada penurunan impor beras sebesar 29.529 ton (93%). Sementara, November 2013 dilaporkan impor beras sebesar 33.126 ton dan Desember 2013 sebesar 39.721 ton. Jika ini dapat lebih ditingkatkan dan didukung dengan peningkatan mutu SDM petani dan strategi pertanian yang tepat dapat diprakirakan sebelum 2020, Indonesia dapat swasembada beras.

Kondisi Pertanian

Kondisi pertanian Indonesia secara umum dapat dilihat dari data Departemen Pertanian th. 2010-2013 terkait luas lahan panen dan produksi dari dua bahan pangan yang dianggap sebagai bahan pangan pokok di Indonesia, yaitu padi dan jagung. Untuk luas lahan padi terjadi kenaikan dari tahun ke tahun. Tercatat pada tahun 2010 luas lahan panen padi seluruh Indonesia seluas 12.793.728 Ha, 2011 seluas 13.203.643 Ha, pada 2012 13.465.524 Ha, dan pada tahun 2013 data sementara dari Deptan menunjukkan angka 13.837.213 Ha. Di tengah pembangunan yang semakin pesat, tentu hal ini menjadi poin yang sangat positif dan diharapkan angka ini dapat menigkat lagi.

Jika Luas lahan panen padi selalu progresif setiap tahunnya, berbeda dengan jumlah produksi padi pertahun. Sempat mengalami defisit pada tahun 2010-2011 dari 66.412.747 ton menjadi 65.856.904 ton, setelah itu hingga 2013 produksi padi Indonesia tercatat selalu mengalami peningkatan. Pada tahun 2012 produksi padi nasional mencapai 69.056.126 ton dan data sementara Deptan mencatat 2013 lalu produksi padi sejumlah 71.291.494 ton. Namun angka yang tidak sedikit ini ternyata masih belum bisa menutup kebutuhan padi/beras nasional.

Untuk jagung, Luas lahan panen dari tahun 2010 hingga 2013 adalah 4.120.409 Ha, 3.864.692 Ha, 3.957.595 Ha, dan 3.820.161 Ha. Dan untuk jumlah produksi jagung nasional tahun 2010-2013 adalah 18.307.090 ton, 17.643.250 ton, 19.387.022 ton, dan 18.506.287 ton.

Dapat dilihat bahwa luas lahan panen dan jumlah produksi padi jauh lebih tinggi dari pada jagung. Mengapa? Ada 3 faktor yang menjadi pemicu fenomena ini. Faktor yang pertama adalah faktor manajemen pertanian nasional yang mendorong petani lebih memilih menanam padi, berikutnya adalah permintaan pasar, dan yang terakhir adalah alam yang lebih menentukan tanaman apakah yang cocok ditanam pada suatu periode tertentu. Faktor alam inilah yang sulit untuk dikendalikan, sehingga perlu pemahaman mengenai dinamika atmosfer yang terkait musim tanam di Indonesia.

Prakiraan Musim

Guna mengatasi masalah terkait ketahanan pangan telah banyak upaya peningkatan teknologi pertanian, namun demikian ada komponen yang tidak mudah diatasi, yakni masalah cuaca dan iklim. Hal terbaik yang bisa diambil adalah menyesuaikan kegiatan pertanian dengan perilaku cuaca dan iklim yang ada. Ini artinya perlu adanya pemahaman terkait dinamika cuaca dan iklim guna mendukung pertanian di Indonesia.

Maret lalu BMKG telah merilis secara resmi “Prakiraan Musim Kemarau 2014”. Yang ditunggu masyarakat Indonesia adalah jawaban apakah benar tahun 2014 ini Indonesia akan mengalami tahun kering yang berpotensi terjadi kekeringan?

Awal musim kemarau 2014 di 342 Zona musim (ZOM) di Indonesia diprakirakan umumnya mulai bulan Mei 2014  sebanyak 120 ZOM (35.1%) dan April  2014  sebanyak  89  ZOM (26.0%). Zona musim (ZOM) adalah wilayah-wilayah yang memiliki beda jumlah curah hujan yang jelas antara periode musim kemarau dan musim hujan. ZOM berbeda dengan wilayah secara geografis, seperti kabupaten/kota.

Meski mayoritas awal musim kemarau tahun ini dimulai pada bulan April dan Mei, ada 2 ZOM yang sejak Januari telah memasuki musim kemarau, meliputi Aceh Besar, Kota Sabang, Lhokseumawe, juga Pidie Jaya, serta 1 ZOM awal musim kemaraunya pada Februari, meliputi Aceh Timur, sebagian besar Aceh Tamiang, Aceh Utara bagian timur, Aceh Tamiang, Kota Langsa. Dari 3 ZOM tersebut, semuanya terdapat di wilayah Sumatera. Jika dibandingkan rata-ratanya, memang mayoritas awal musim kemarau 2014 di Sumatra lebih maju. Namun untuk sifat jumlah curah hujan Sumatra diprakirakan mayoritas normal.

Untuk wilayah Jawa, mayoritas awal musim kemarau tahun ini dimulai pada bulan Mei. Untuk sifat jumlah curah hujannya sendiri diprakirakan normal. Wilayah Bali, NTB dan NTT awal musim kemarau mayoritas mulai April. Namun ada beberapa wilayah, meliputi Bima, Dompu, Kupang bagian utara dan Timor Tengah Utara bagian barat yang perlu waspada kekeringan karena curah hujan diprakirakan akan di bawah normal.

Awal musim kemarau untuk Kalimantan dan Sulawesi sedikit lebih mundur dibandingkan Sumatra dan Jawa, yaitu mayoritas pada bulan Juni dengan sifat hujan mayoritas normal. Bahkan untuk beberapa wilayah di Sulawesi seperti Bolaang Mongondow bagian selatan, awal musim kemarau diprakirakan pada bulan November.

Wilayah Maluku dan Papua ini yang paling unik. Tak ada bulan yang menjadi awal musim kemarau 2014 secara mayoritas. Artinya awal musim untuk beberapa terbagi dari April hingga Oktober mendatang. Jumlah ZOM yang akan mengalami musim kemarau 2014 dengan sifat hujan di bawah normal cukup banyak, yaitu 6 ZOM yang meliputi Seram bagian timur dan sebagian besar wilayah ZOM Papua.

Untuk wilayah yang beda jumlah curah hujan antara musim kemarau dan musim hujannya tidak jelas (Non ZOM) Curah hujan kumulatif  selama periode  April 2014  sampai dengan September  2014, diprakirakan umumnya berkisar antara 1001mm–1500mm, ini terjadi sebagian besar di pulau Kalimantan bagian barat dan Papua, serta sebagian kecil di Sumatera. Sementara itu di pulau Sulawesi bagian utara dan Sumatera bagian utara, curah hujan kumulatif selama April 2014 sampai dengan  September 2014 sebagian besar berkisar 1501mm–2000mm.

Walau sebagian besar diprakirakan banyak wilayah NON ZOM di Indonesia dengan curah hujan kumulatif cukup tinggi namun dibeberapa wilayah juga terdapat curah hujan kumulatif yang cukup rendah yaitu berkisar <501mm selama April 2014 – September 2014. Wilayah tersebut Karo bagian barat dan selatan, Palu, dan Parigi Moutong bagian selatan. Hal ini perlu perhatian khusus terkait ancaman kekeringan yang mungkin terjadi.

Dengan adanya prakiraan musim kemarau 2014 yang dirilis BMKG ini diharapkan seluruh petani Indonesia dapat lebih memperhitungkan masa tanam. Sehingga ada mitigasi kondisi meteorologis yang tidak mendukung, dan gagal panen pun dapat dihindarkan. Jika komponen pendukung berupa segala informasi terkait cuaca, musim, serta iklim dapat dipahami dan diterapkan dengan baik, akan menjadi salah satu pendorong terkuat kemajuan ketahanan pangan kita. Jadi mari kita perhatikan dinamika alam dalam segala aktivitas kita.

Oleh Nanda Alfuadi

*)Tulisan ini dimuat di Analisa Daily pada tanggal 12 april 2014